Minggu, November 07, 2010

Menjadi Muslim yang Sesungguhnya


Untung saya pasang Feedjit Live Traffic. Dari situ saya bisa tahu gimana caranya pengunjung bisa nyasar ke blog saya. Salah satu kata kunci via Google yang paling sering nyasar di blog saya adalah: "toleransi Islam dengan umat agama lain", "Islam dan toleransi antarumat beragama", dan sejenisnya.

Dari sini saya menangkap, bahwa ada rasa keingintahuan yang sangat tinggi dari umat Islam (atau umat agama lain) di Indonesia untuk mengetahui, gimana sih sebenernya Islam memandang toleransi antarumat beragama itu? Gimana sesungguhnya ajaran Islam dalam menyikapi perbedaan itu?

Rasa keingintahuan ini bisa jadi muncul karena maraknya aksi radikalisme yang mengatasnamakan umat Islam satu dekada belakangan. Umat Islam pada umumnya, yang terbiasa hidup damai, kemudian menjadi resah dan gundah dengan kehadiran para ekstremis ini. Apa benar agama yang mereka anut selama ini mengajarkan hal demikian? Bagaimana sebenarnya cara Islam bergaul dengan umat agama lain? Soal itu sudah saya bahas dalam artikel sebelumnya, di sini dan di sini.

Yang ingin saya bahas sekarang adalah, bahwa ternyata, umat Islam memiliki "kerinduan" untuk mendalami makna Islam. Ada keinginan untuk mencari jati diri, menjadi muslim yang sesungguhnya.

Saya pun berusaha mencari model muslim yang ideal. I'm also looking for ideal muslim role model. I can mention some names who has capability/integrity/personality that I respect of: Ahmad Dahlan, Quraish Shihab, Mario Teguh, Agus Mustofa, Abdullah Gymnastiar, Maher Zain, etc. Mereka adalah muslim-muslim yang saya kagumi, merekalah yang menurut saya mendekati sosok muslim ideal; cerdas, berkepribadian baik, mengamalkan ajaran agama tanpa menodai lingkungan sekitarnya, serta mencari kebahagiaan dunia dan akhirat. Mereka itu yang menurut saya benar-benar mengenal Allah, memahami sifat-sifatNya, dan tahu apa yang sebenarnya Dia inginkan. Merekalah umat Nabi Muhammad yang sejati, mereka muslim sesungguhnya.

Saya merasa ada kesalahan dalam pemahaman agama umat Islam Indonesia. Barangkali ini ada kaitannya dengan sejarah awal mula penyebaran Islam di Indonesia. Islam, khususnya di Pulau Jawa, diperkenalkan melalui perantara Wali Songo. Kebanyakan dari mereka beraliran 'abangan', yang memanfaatkan tradisi Hindu-Budha untuk mempermudah penyebaran Islam ke Jawa. Karenanya sampai saat ini masih ada tradisi yang campur aduk. Kedatangan Islam sesungguhnya hanya membawa perubahan dari segi ritual saja, tapi belum mengubah cara hidup orang Indonesia secara keseluruhan.

Contohnya, umat Islam Indonesia masih suka berprasangka buruk (su'udzon), masih suka bermalas-malasan, tidak mau mandiri, tidak bisa menerima perbedaan, suka menjegal orang lain yang sudah maju daripada membangun diri sendiri untuk mengejar ketertinggalan, dsb. Tentunya ini bukan generalisasi atas sikap umat Islam Indonesia seluruhnya, namun kebanyakan muslim tradisional Indonesia masih bersikap seperti ini.

Padahal, Al-Quran sama sekali tidak mengajarkan hal-hal sedemikian. Lalu kenapa kok bisa muslim Indonesia keliru memahaminya? Salah satu sebabnya adalah, di Indonesia, Al-Quran hanya DIBACA saja, tapi tidak DIPAHAMI isinya. Membaca Al-Quran dianggap harus dalam Bahasa Arab, entah mengerti atau tidak maknanya, yang penting membaca. Orang-orang banyak yang malas membaca Al-Quran terjemahan, karena dianggap tidak ada pahalanya, padahal ya gunanya Al-Quran itu untuk menjadi pedoman hidup. Kalau nggak ngerti artinya, gimana bisa diamalkan sebagai pedoman?

Ramadhan barusan saya tidak membaca Al-Quran dalam bahasa Arab sama sekali. Saya tetap tadarus, tapi hanya membaca terjemahannya saja. Seperti membaca sebuah syair. Dari situ, pemahaman saya akan firman-firman Allah semakin meningkat. Meskipun belum khatam membaca semua isi Al-Quran, saya jadi tahu bahwa sebenarnya Al-Quran menyuruh "begini", bukan "begitu" seperti yang ada di masyarakat.

Di Iran, ada pameran Al-Quran besar dan modern yang diadakan di sebuah masjid di sana (saya lupa tempatnya, yang jelas diulas di Jawa Pos pada Ramadhan lalu). Di sana dipamerkan karya-karya ilmiah yang merupakan perwujudan dari isi Al-Quran. Karya dalam ilmu eksak, seni, dsb. Mereka menkonkretkan apa yang sebetulnya ada di dalam Al-Quran. Di Iran Al-Quran sangat dihormati. Para pedagang di pasar menempel nukilan ayatnya di toko-toko. Anak-anak kecil usia SD di Iran dan Afghanistan bahkan sudah mampu menghafal isi Al-Quran di luar kepala. Bayangkan, rangkaian bahasa yang tinggi mampu dihafal oleh bocah sekecil itu, secerdas apa mereka nanti saat dewasa?

Di Mesir, Al-Quran juga sangat dihormati. Di bis dan di tempat2 umum orang2 menunggu sambil membaca Al-Quran. Al-Quran poket seperti sudah menjadi barang yang biasa dimiliki umat Islam Mesir dan dibawa ke mana-mana. Itu karena mereka paham betul akan tata bahasa Al-Quran yang sangat tinggi dan kandungannya yang sangat mendalam.

Orang-orang yang paham benar keseluruhan isi Al-Quran, akan bersikap bijak seperti Pak Quraish Shihab atau Aa' Gym. Tutur katanya lembut, jalan pikirannya membuat terang benderang, selalu berusaha membersihkan hati. Orang-orang yang paham betul isi Al-Quran, akan berfikir logis dan cerdas seperti Pak Agus Mustofa. Beragama dengan akal sehat, membuat iman semakin meningkat. Orang-orang yang paham betul isi Al-Quran, akan berusaha menggerakkan masyarakat seperti pak Ahmad Dahlan. Orang-orang yang paham betul isi Al-Quran, akan menciptakan sebuah karya seni yang indah dan menyentuh hati seperti Maher Zain dan Sami Yusuf. Orang-orang yang paham betul isi Al-Quran, hidupnya damai dan tenang, bahagia dunia akhirat.

Saya ingin sekali menjadi seperti itu.
Saya ingin sekali menjadi muslim yang sesungguhnya. Saya ingin tunjukkan pada orang-orang, inilah Islam. Lihatlah yang ini. Jangan melihat bom, teror, dan kekerasan. Kalian tidak pernah benar-benar tahu siapa sesungguhnya yang ada di belakang mereka. Lihatlah umat Islam yang ini, yang cerdas, makmur sejahtera, peduli sesama, dan menebarkan kasih kepada lingkungan sekitarnya.

Pelajari dan pahami Al-Quran, itu adalah kunci untuk menemukan Tuhan dan mendapatkan kebahagiaan dunia-akhirat.

2 komentar:

  1. "Saya ingin sekali menjadi seperti itu.
    Saya ingin sekali menjadi muslim yang sesungguhnya. Saya ingin tunjukkan pada orang-orang, inilah Islam. Lihatlah yang ini. Jangan melihat bom, teror, dan kekerasan. Kalian tidak pernah benar-benar tahu siapa sesungguhnya yang ada di belakang mereka. Lihatlah umat Islam yang ini, yang cerdas, makmur sejahtera, peduli sesama, dan menebarkan kasih kepada lingkungan sekitarnya."

    like this!

    BalasHapus
  2. Dulu Islam pernah mengalamai masa kejayaan. Dimana ilmu pengetahuan menjadi makanan pokok setiap pemeluknya. Ekonomi kuat dengan kesadaran membayar pajak (zakat). Dulu juga Rasulullah menjalin bisnis dengan orang Yahudi. Beliau menyewakan baju perangnya pada Yahudi itu. Seperti yang Umi kemukakan dalam tulisan di atas, orang-orang yang dikaguminya, yang tampak menginspirasinya, juga saya temui dalam kehidupan saya. Seorang tokoh agama Islam, yang juga menjaga hubungan secara horisontal setelah vertikal.
    Ternyata batas perbedaan antara umat Islam dan non-Islam adalah pada ibadahnya. Di luar urusan ibadah, kita (umat manusia) punya status dan urusan yang sama. Hak-hak yang sama.
    Tentunya kitalah yang harus bijaksana membedakan suatu kepentingan yang mengarah kepada kekufuran dan kekafiran kita. Dari situ, Allah memberi kita kebebasan untuk memilih. Mau berserah atau bersalah?

    Tetaplah baik wahai orang baik! he..he..

    BalasHapus