Kamis, Agustus 26, 2010

Renungan Ramadhan (4): Tuhan dan Rasa Aman


Manusia adalah makhluk yang penuh ketergantungan. Saat bayi kita tergantung pada orangtua, saat remaja kita tergantung pada teman-teman, saat dewasa kita mungkin tergantung pada pasangan hidup atau rekan kerja. Ada pula yang tergantung pada hartanya, kekuasaannya, atau bahkan ketenarannya.

Ibarat tali, kalau ‘tempat bergantung’ itu hilang, maka kita pun akan terburai, terjatuh tidak karuan. Kita hancur dan kehilangan pegangan. Kita seperti orang linglung, segala yang kita punya seperti tidak berarti lagi; harapan hilang, semangat hidup pun tak tersisa.
Sering kan kita menemui orang-orang seperti itu. Jadi gila karena terbelit utang, bunuh diri karena diputus kekasih; mereka semua itu adalah orang-orang yang stress karena kehilangan tempat bergantung.

Kita tentunya nggak mau mengalami nasib seperti itu. Karenanya, kita harus memiliki tempat bergantung yang kuat. Dia yang tidak akan meninggalkan kita, Dia yang selalu ada saat kita butuh, Dia yang paling tahu apa isi hati kita.

Dialah Tuhan, tempat bergantung yang paling kuat.

Dengan bergantung padaNya, tali kita tidak akan putus. Meskipun kita sendirian dan ditinggalkan, Tuhan tidak akan meninggalkan kita, selama kita terus mendekat padaNya.

“Allah adalah tempat bergantung.” (Al-Ikhlas ayat 2)

Jadi jangan pernah terlalu sedih dan cemas. Orang-orang yang beriman akan selalu mendapat rasa aman, karena mereka menggantungkan talinya pada Sesuatu yang amat kuat dan tak akan pernah lepas.

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An’am ayat 82)

Senin, Agustus 23, 2010

Renungan Ramadhan (3): Panduan Pergaulan dalam Pluralitas


Siraman rohani dari Pak Quraish Shihab dini hari ini benar-benar sukses “menyiram rohani” saya. Temanya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, yaitu bagaimana cara bergaul dengan teman-teman yang berbeda keyakinan dan tetap menghargai pluralitas.

Al-Quran mengakui dan menghargai pluralitas itu, seperti yang disebutkan dalam ayat berikut:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.” (Al-Hujuraat ayat 13)

Artinya, Allah memiliki maksud di balik penciptaan manusia yang beraneka ragam: Dia ingin agar kita saling mengenal. Saling bekerjasama; belajar dari kelebihannya dan membantu kekurangan yang lain. Perbedaan itu memang ada dan disengaja oleh Allah, karenanya tidak mungkin kita meleburkan perbedaan-perbedaan itu menjadi satu, karena nanti malah nggak ada bentuknya. Demikian pula dalam hal pluralitas agama, memang agama itu banyak, Allah memang sengaja menciptakan seperti itu—maka biarkan saja, jangan diributkan. Yang penting kita tetap menghargai ajaran agama masing-masing namun TIDAK MENYAMARATAKANNYA dan TIDAK MENCAMPURADUKKANNYA.

“Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.” (Al-Kafiruun ayat 6)

Menghargai pluralitas itu bukan berarti menganggap semua agama sama—itu salah besar, itu namanya mencoba meleburkan semua agama menjadi satu. Perbedaan agama itu memang ada, dan nggak perlulah kita hilangkan sekat-sekatnya hanya demi TOLERANSI. Yang penting kan saling menghargai.

Seperti kata Pak Quraish, “Jangan mengorbankan aqidahmu demi pluralitas, tapi jangan pula menghancurkan pluralitas itu atas nama agama.”

Dengan siapapun, baik muslim ataupun nonmuslim, kita dianjurkan untuk berbuat kebajikan, dan dengan siapapun, baik muslim ataupun nonmuslim, kita dilarang berbuat keburukan.
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Maidah ayat 2)

Pak Quraish juga menyebutkan, bahwa ada 1 ayat dalam Al-Quran (lupa suratnya apa) yang menjelaskan bahwa kita boleh menolong dan memberi makan orang nonmuslim, selama mereka tidak mencoba merusak aqidah kita. Nabi Muhammad saja, ketika butuh uang, pernah menggadaikan perhiasan kepada orang Yahudi. That’s no problem. Yang penting, jangan sampai kita menggadaikan aqidah kita hanya karena alasan “sungkan dengan pemeluk agama lain”. Justru, kalau pemeluk agama lain itu benar-benar mengerti ajaran agamanya, dia malah akan menghormati kita dan tidak mencoba menghalang-halangi kita beribadah.

Pak Quraish bilang bahwa berteman dengan orang beda agama itu nggak pa-pa, yang nggak boleh adalah berteman dengan orang yang melecehkan agamanya sendiri, agama apapun itu. Karena orang yang teguh memegang agamanya, biarpun nonmuslim, mereka itu memiliki nilai-nilai luhur yang dijunjung. Dalam hal moralitas, semua agama itu sama-sama mengajarkan kebaikan. Pasti semua menganjurkan untuk menolong sesama, tidak menipu, tidak berbohong, dll. Yang beda kan hanya dalam hal ketauhidan.

Jadi, kalau direnungkan lagi, memang benar kata Pak Hasyim Muzadi saat ceramah di kampus saya dulu: “Kalau Anda muslim, jadilah muslim yang baik. Kalau Anda Budha, jadilah Budha yang baik.” Itu saja sudah cukup untuk menjadi pedoman toleransi. Karena seorang muslim yang baik dan Budha yang baik, pasti akan otomatis menghormati satu sama lain. Orang-orang yang menghina pemeluk agama lain, merusak tempat ibadah agama lain, maka bisa dipastikan bahwa orang tersebut bukanlah orang beragama yang baik.

Minggu, Agustus 22, 2010

Renungan Ramadhan (2) : Kristen Koptik di Mesir


Kristen Koptik adalah salah satu ‘jenis’ agama Kristen yang kerap dianut orang Timur Tengah, khususnya Mesir. Sudah dua kali saya mendengar nama agama ini disebut; yang pertama saat membaca novel Ayat-Ayat Cinta (Kristen Koptik adalah agama dari Maria, gadis yang mencintai Fahri si tokoh utama), dan yang kedua saat pendeta Bambang Noorsena berceramah di kampus saya.

Namun saya baru mengetahui lebih dalam tentang agama ini sekitar 1 jam yang lalu saat membaca rubrik Ramadhan asuhan Agus Mustofa “Jelajah Sungai Nil” di Jawa Pos (22/08/2010). Agus baru saja berkunjung ke Gereja Deir Durunka di perbukitan Jabbal Asyut, Kota Asyut. Perbukitan ini dulunya adalah tempat singgah Nabi Isa dan ibundanya, Siti Maryam saat dikejar Raja Herodes dari Romawi.

Gereja itu adalah pusat peribadatan para kaum Kristen Koptik. Cara beribadah mereka ternyata mirip dengan penganut Islam. Dalam sehari mereka melakukan 7 kali shalat (as sab’u shalawat) yaitu pada pukul 06.00 (mirip Subuh), 09.00 (mirip Dhuha), 12.00 (mirip Zhuhur), 15.00 (mirip Ashar), 18.00 (mirip Maghrib), menjelang tidur (mirip Isya’), dan tengah malam (mirip Tahajjud). Selain itu mereka juga berpuasa selama 40 hari menjelang perayaan Paskah. Dan, berbeda dengan penganut Kristen lainnya, mereka merayakan Natal bukan pada 25 Desember melainkan 7 Januari.

Mereka sendiri memang membedakan diri dengan penganut Kristen lainnya karena mereka mengaku mendapatkan syiar agama lewat orang-orang suci pada zaman-zaman awal. Di gereja itu terdapat patung St. Markus.

Fakta ini jujur menyentak hati saya. Jika benar dugaan ini, maka bisa jadi kaum Kristen Koptik adalah salah satu dari sedikit penganut Nasrani yang masih tersisa. Kaum Nasrani adalah mereka yang menganut ajaran yang murni dari Nabi Isa, bukan gubahan St Paul, orang Yahudi yang menuhankan Nabi Isa, mengkristenkan Kaisar Romawi, serta melahirkan dan menyebarkan Kristen yang tidak murni seperti yang kita jumpai pada era modern ini.

Maka benarlah apa kata Al-Quran:
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya kami ini orang Nasrani’. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (Al-Ma’idah ayat 82)

“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka berkaca-kaca disebabkan kebenaran (Al-Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi atas kebenaran Al-Quran dan kenabian Muhammad SAW)” (Al-Maidah ayat 83)

Sabtu, Agustus 21, 2010

Renungan Ramadhan (1): Undangan Tuhan

Mendengarkan ceramah Pak Quraish Shihab sungguh menyejukkan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pada bulan Ramadhan beliau hadir di Metro TV dalam program "Tafsir Al-Misbah", menemani sahur pemirsa mulai pukul 03.00 sampai 04.00.

Ayah saya sangat suka mendengarkan ceramah beliau, sehingga kami sekeluarga pun saat sahur memilih untuk menonton tayangan tersebut, daripada tayangan lain yang kebanyakan berbau komedi gak jelas. Pak Quraish menafsirkan Al-Quran seolah-olah ia adalah buku dongeng, dengan beratus ceritera penuh makna yang ingin disampaikan bagi siapapun yang mau mendengar. Beliau banyak menggunakan analogi sederhana dalam menjelaskan konsep ke-Tuhan-an, membuat kita yang orang awam lebih mudah untuk memahaminya.

Pagi tadi beliau membahas surat Al-An'am ayat 60-64. Ada audiens yang bertanya tentang shalat yang khusyuk. Apakah khusyuk dalam shalat itu berarti tidak memikirkan apa-apa sama sekali?

Menurut beliau, khusyuk itu banyak tingkatannya. Kita sebagai manusia perlu tahapan-tahapan untuk mencapai puncak kekhusyukan itu. Beliau menganalogikan, Allah yang mengajak kita untuk sholat seperti seseorang yang mengirimkan undangan pameran lukisan kepada kita.

Ada orang yang begitu melihat undangannya saja langsung membuangnya begitu saja tanpa dibuka. Ada orang yang membukanya tapi dia tidak suka lukisan dan dia datang ke pameran dengan menggerutu. Ada orang yang membukanya, dia tidak terlalu suka lukisan, namun karena menghormati si pengundang dia pun datang ke pameran dan melihat-lihat lukisan itu. Ada pula orang yang begitu mendapat undangan, dia senang karena dia suka lukisan, dan datang ke pameran melihat-lihat lukisan dengan atusias. Yang terakhir, ada orang yang sangat menyukai lukisan, begitu mendapat undangan, dia segera pergi dan melihat-lihat pameran, mengamat-amati lukisan dengan sungguh-sungguh, sampai ia tercenung dan hampir tidak ingat sekelilingnya.

Itulah lima tingkatan khusyuk dalam shalat. Termasuk yang manakah kita?

Renungan Ramadhan


Sekarang saya tahu bahwa hidayah itu bukan didapatkan, tetapi dicari. Kalau kita mau dan serius mencariNya, maka Allah akan menunjukkan jalanNya. Seumur hidup, belum pernah saya rasakan dorongan sekuat ini untuk mencari keberadaan Tuhan. Dorongan itu semakin menguat selama 2 tahun terakhir, ketika saya hidup di lingkungan plural yang menggelitik iman dan pikiran ke-Tuhan-an saya.

Tuhan dan agama itu bukannya dicari kalau sudah mendekati mati. Tuhan adalah pegangan, agama adalah tuntunan. Keduanya diperlukan selama kita menjalani hidup. Karena itu semakin awal kita menemukannya, maka semakin baik karena hidup kita akan berjalan dengan lurus dan terarah.

Hidup dalam kebimbangan dan keraguan itu nggak enak, percaya deh. Barangkali kamu sudah mencapai beberapa mimpi-mimpi duniawimu, dan kamu senang, tapi belum bahagia—ya, kamu happy, tapi belum joyful. Seperti ada sesuatu yang kosong di dalam jiwamu. Kamu berhasil, tapi untuk apa? Kamu meraih mimpimu, tapi apa manfaatnya?

Bulan Ramadhan ini, Allah membuka mata hati saya. Saya yang sudah bosan mendengar isu-isu yang begini, begitu, si A bilang begini, si B bilang begitu, di TV begini, di koran begitu, di pelajaran CBDC begini, di ceramah begitu, dll. Pusing. Di antara sekian banyak pendapat, mana yang benar? Mana yang bisa kamu percaya dan dijadikan tuntunan?

Saya berusaha mencarinya, karena itu saya putuskan kembali ke fitrah, mencoba membuka kembali apa yang seharusnya menjadi pegangan hidup saya: Al-Quran.

Meskipun sudah lancar membaca dan menghafal beberapa ayat Al-Quran di luar kepala, tetapi saya belum benar-benar memahami isinya. Itulah, orang Indonesia yang notabene pendidikannya rendah, masih menganggap agama sebagai syariat belaka, tanpa diimbangi aqidah/keimanan yang kuat. Padahal dasar yang harus dikuatkan terlebih dahulu adalah iman kita, bukan? Beriman dulu, kemudian beramal shaleh. Aqidah harus mantap dulu, baru setelah itu bisa menjalankan syariat dengan penuh keikhlasan. Insyaallah kalau tauhid kita sudah benar, apapun perintah Allah akan selalu kita usahakan dengan baik.

Alhamdulillah Allah mengerti keinginan saya untuk lebih dekat kepadaNya. Dia berikan kepada saya teman-teman yang luas ilmunya, berpikiran kritis dan terbuka. Allah berikan saya keluarga yang senantiasa mendekatkan saya ke jalan yang lurus, yang tak pernah lupa mengingatkan saya untuk selalu on track di jalanNya. Allah masih baik sama saya, nggak membiarkan saya tersesat lebih dan lebih jauh lagi.

Ayo teman-teman bersama-sama kita mencari Tuhan. Renungan Ramadhan ini insyaallah akan saya tulis terus selama bulan Ramadhan dengan berbagai topik berbeda, khususnya mengenai ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Quran.

Semoga kita semua tetap berada di jalan yang lurus. Amin.