Sabtu, Juli 31, 2010

SUARA RAKYAT DI ATAP GEDUNG DPR

“Bicara sudah nggak didengerin, menulis di koran juga sama. Sentilan di televisi, seperti Butet atau acara Democrazy, cuma jadi entertain. Makanya, saya demo saja supaya didengarkan,” begitu kata Pong Hardjatmo, aktor kawakan yang kemarin tiba2 melakukan aksi heboh. Dia memanjat gedung DPR dan mencoreti atapnya dengan cat semprot. Kata2 yang ditulisnya simpel tapi cukup menyentil, yaitu “JUJUR ADIL TEGAS”. Seolah-olah menyindir tajam sikap anggota DPR saat ini yang kerap kali menunjukkan perilaku sebaliknya.

Jujur saya akui, ulah aktor senior itu SANGAT KEREN. Dia bukan siapa2; bukan aktivis, bukan politisi, bukan komentator yang sering ceramah di televisi—dia hanya aktor film. Profesinya nggak berkaitan secara langsung dengan ribut-koyah di DPR. Tapi suaranya itu, spontanitasnya itu, murni dari seorang rakyat yang capek disuguhi aksi konyol para badut Senayan yang menyakitkan hati.

Reaksi Ketua DPR Marzuki Alie seolah membuktikan sikap negatif anggota DPR yang dipimpinnya. Dengan spontan ia langsung menunjuk kambing hitam. “Kalau sampai ada yang mencoret gedung begitu, pamdal yang salah. Pengamanannya bagaimana?” Kenapa setiap ada kejadian komentar pertama langsung mencari siapa yang SALAH? Kenapa tindakan pertama selalu mencari KAMBING HITAM? Apa dia nggak peka sama pesan yang coba disampaikan Pong, kata-kata yang sangat diidamkannya—dan juga seluruh rakyat Indonesia—sampai2 rela memanjat atap gedung DPR untuk menuliskannya? Dengan entengnya si Ketua Taman Kanak-Kanak Senayan malah bilang, “Pesan begitu sudah banyak di media.” Oh God, WHERE THE HELL IS YOUR EAR?

Pong orang cerdas. Nggak butuh popularitas. Kalau sampai dia bertindak begitu, itu berarti memang anggota DPR kita sudah parah busuknya. Bolos sidang, makan gaji buta, korupsi gila-gilaan. Bener juga apa kata Om Wahyu Kokkang di kartun Clekit-nya, “Kalau anggota dewan tetap nggak berubah kelakuannya, lain kali corat-coretnya langsung di jidat mereka saja!”

*sumber kutipan: Jawa Pos (Sabtu/31 Juli 2010)

*sumber gambar: mediaindonesia.com

Kamis, Juli 08, 2010

Ainun Habibie dan Peran Perempuan

“Yang paling saya ingat dari Ibu adalah matanya…” kata Habibie dengan pandangan menerawang di balik kacamatanya. “Matanya, senyumnya, dan ekspresi wajahnya itu tidak bisa saya lupakan…”

Di depan Habibie, Najwa Shihab menitikkan air mata mendengar rasa cinta yang begitu dalam dipancarkan oleh cendekiawan Indonesia ini. Terlihat sekali bahwa Habibie sangat merasa kehilangan sosok perempuan yang sangat dicintainya, yang setia menemaninya selama 48 tahun lebih 10 hari.

Itulah cuplikan wawancara program “Mata Najwa” episode “Separuh Jiwaku Pergi.” Mendengar kisah cinta Pak Habibie dan Bu Ainun, tak terasa airmata ini mengalir. Cukup deras, merasakan dahsyatnya kekuatan cinta yang mampu menciptakan kerapuhan saat cinta itu pergi, menyisakan sebuah lubang kosong menganga dalam sesosok laki-laki hebat nan cemerlang.

“Di balik setiap laki-laki sukses, pasti ada seorang wanita hebat.” Ungkapan itu terpancar jelas pada sosok Pak Habibie. Kariernya sebagai seorang ilmuwan besar Indonesia ternyata tidak lepas dari peran istri tercintanya, Ibu Ainun. Ibu Ainun selalu memasang wajah teduh dan senyum manis, mengingatkan Pak Habibie untuk beristirahat dan minum obat, membekali Pak Habibie dengan carikan kertas berisi ayat-ayat Al-Quran dalam perjalanan. Ibu Ainun mendisiplinkan Pak Habibie, menjadi bantalannya ketika ia akan terjatuh, memperkuat jiwanya saat ia rapuh. Tak heran Pak Habibie merasa separuh jiwanya pergi saat istrinya meninggal dunia, namun dengan tabah ia berkata, “Aku sangat mencintaimu Ainun, tapi Allah lebih mencintaimu, sehingga Ia memanggilmu lebih dulu...”

Ia berkata kepada Najwa, “Saat ini jiwa saya dan Ibu sudah menyatu, Ibu seperti ada dalam ruh saya.”

Subhanallah, sungguh luar biasa cinta yang ditanamkan Allah dalam hati Pak Habibie.

Mendadak rasa kekaguman yang luar biasa muncul kepada Ibu Ainun. Ibu Ainun, yang seorang dokter lulusan FK Universitas Indonesia, rela mengesampingkan gelarnya dan mengabdikan diri sebagai seorang istri dan seorang ibu. Ibu Ainun adalah wanita cerdas. Ketika SMA, beliau yang merupakan adik kelas Pak Habibie dikenal sebagai jagoan ilmu pasti. Beliau seorang dokter lulusan universitas ternama. Kalau saja dia mau, dia bisa meniti karier yang hebat, bahkan bisa seperti Ibu Sri Mulyani yang kini menjabat di World Bank. Namun Ibu Ainun memilih menjadi seorang istri dari jenius bernama Habibie, mengabdikan hidupnya untuk merawat suami dan anak-anaknya.

Seorang teman pernah berkata, di dunia ada 2 jenis orang, yaitu orang sukses dan orang yang mendukung si orang sukses. Ada 2 tipe manusia, si pencapai dan si ‘asisten pencapai’. Orang sukses memang hebat karena bisa mencapai kesuksesannya, namun semua itu takkan bisa berhasil tanpa dukungan dari pendampingnya. Tanpa si ‘asisten’ itu, orang sukses pun tidak akan menjadi sukses seperti seharusnya. Demikian pula, si ‘asisten’ sendiri tidak bisa menjadi orang sukses namun perannya sangat besar dalam menciptakan ‘si sukses’.

Mungkin inilah hakikat pasangan hidup. Pasangan yang sama2 ambisius mungkin akan saling bersaing dan menjatuhkan. Namun pasangan seorang ‘sukses’ dan seorang ‘asisten sukses’ akan saling melengkapi menciptakan kesuksesan bersama.

Peran ‘asisten sukses’ ini biasanya dijalani oleh seorang perempuan, sebagai seorang istri dan juga ibu. Ibu Ainun Habibie telah menjalankannya dengan sangat istimewa, sebagaimana dilakukan oleh Ibu Tien Soeharto dan Ibu Ani Yudhoyono, serta para istri orang2 sukses lainnya. Saya percaya bahwa orang2 sukses selalu memiliki istri yang hebat dan keluarga yang bahagia. Karena istri dan ibu yang menjalankan perannya dengan baik adalah kunci dari keharmonisan keluarga. Keluarga harmonis adalah awal dari kesuksesan seseorang.

Para istri dan ibu itu bukan berarti kalah sukses dengan suami atau anaknya, tetapi merekalah yang menjadi tumpuan kesuksesan itu—merekalah yang menciptakannya melalui orang lain.

Barangkali para perempuan feminis masa kini akan menganggap bahwa perempuan juga bisa sukses sendiri, tanpa melalui orang lain. Pendapat ini memang ada benarnya. Kita melihat Sri Mulyani atau Angela Merkel, dan sederet perempuan sukses lainnya. dalam tingkatan ini, bisa jadi pemegang peran ‘asisten sukses’ tersebut bukanlah sang perempuan, melainkan sang laki-laki. Sebab Sri Mulyani sendiri pernah mengatakan, suami dan anak2nya adalah orang2 yang sangat berharga dan selalu mendukungnya.

Terlepas dari itu semua, perempuan bisa menjalankan peran manapun yang dia inginkan; sebagai ‘orang sukses’ atau sebagai ‘asisten sukses’. Itu semua adalah pilihan. Tidak ada peran yang lebih rendah dari yang lain. Di sini faktor kepribadian juga menentukan peran yang diambil.

Saya pribadi, dalam usia saat ini tentunya ingin menjadi ‘orang sukses’. But someday, when I’ve found “that someone”, somebody who can take my trust fully, somebody who can be counted on, somebody who can guide me to the path of Allah, I’m sure I will gladly become his companion. I will become his motivator, support him to be a success man, and be by his side forever... I wanna become like Bu Ainun. This is when I fulfill my dream as a complete woman…